Beranda | Artikel
Meninggalkan Perkara Syubhat
Jumat, 7 Desember 2012

Yang dimaksud syubhat adalah perkara yang masih samar hukumnya, apakah halal atau haram. Jika kita menemukan perkara semacam ini, maka lebih utama untuk ditinggalkan. Semacam seseorang mendapati perselisihan ulama, apakah mengambil foto diri itu dibolehkan atau tidak dalam keadaan non-darurat. Jika dalam masalah ini, kita tidak bisa menguatkan salah satu pendapat karena kuatnya dalil yang dibawakan dari pihak yang melarang dan pihak yang membolehkan, maka sikap wara’ dan hati-hati adalah tidak mengambil foto diri kecuali dalam keadaan darurat. Namun bagi yang sudah jelas baginya hukum setelah menimbang dalil, maka tidak masalah ia mengambil pendapat yang ia yakini. Pembahasan kali ini masih ada sangkut pautnya dengan pembahasan kita kemarin mengenai sikap wara’.““

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

Ada Tiga Pembagian Hukum

Ada pelajaran penting yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah. Beliau mengatakan, “Hukum itu dibagi menjadi tiga macam dan pembagian seperti ini benar. Karena sesuatu bisa jadi ada dalil tegas yang menunjukkan adanya perintah dan ancaman keras jika ditinggalkan. Ada juga sesuatu yang terdapat dalil untuk meninggalkan dan terdapat ancaman jika dilakukan. Ada juga sesuatu yang tidak ada dalil tegas apakah halal atau haram. Yang pertama adalah perkara halal yang telah jelas dalilnya. Yang kedua adalah perkara haram yang telah jelas dalilnya. Makna dari bagian hadits “halal itu jelas”, yang dimaksud adalah tidak butuh banyak penjelasan dan setiap orang sudah memahaminya. Yang ketiga adalah perkara syubhat yang tidak diketahui apakah halal atau haram.” (Fathul Bari, 4: 291).

Jadi intinya, ada tiga hukum yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu (1) halal, (2) haram, dan (3) syubhat.

Sedangkan masalah (problema) dibagi menjadi empat macam:

1-      Yang memiliki dalil bolehnya, maka boleh diamalkan dalil bolehnya.

2-      Yang memiliki dalil pengharaman, maka dijauhi demi mengamalkan dalil larangan.

3-      Yang terdapat dalil boleh dan haramnya sekaligus. Maka inilah masalah mutasyabih (yang masih samar). Menurut mayoritas ulama, yang dimenangkan adalah pengharamannya.

4-      Yang tidak terdapat dalil boleh, juga tidak terdapat dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum asal. Hukum asal ibadah adalah haram. Sedangkan dalam masalah adat dan muamalah adalah halal dan boleh.

Demikian pembagian dari Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawiyah Al Mukhtashor, hal. 64.

Perkara Syubhat, Ada yang Tahu dan Ada yang Tidak Tahu

Yang dimaksud di sini adalah perkara tersebut masih samar (syubhat) menurut sebagian orang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ‘kebanyakan orang tidak mengetahui perkara tersebut’.  Perkaran syubhat ini sering ditemukan oleh para ulama dalam bab jual beli karena perkara tersebut dalam jual beli amatlah banyak. Perkara ini juga ada sangkut pautnya dengan nikah, buruan, penyembelihan, makanan, minuman dan selain itu. Sebagian ulama sampai-sampai melarang penggunaan kata halal dan haram secara mutlak kecuali pada perkara yang benar-benar ada dalil tegas yang tidak butuh penafsiran lagi. Jika dikatakan kebanyakan orang tidak mengetahuinya, maka ini menunjukkan bahwa sebagian dari mereka ada yang tahu. Demikian kami ringkaskan dari perkataan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4: 291.

Guru kami, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- mengatakan, “Perkara yang syubhat (samar) itu muncul pasti ada beberapa sebab, bisa jadi karena kebodohan, atau tidak adanya penelusuran lebih jauh mengenai dalil syar’i, begitu pula bisa jadi karena tidak mau merujuk pada perkataan ulama yang kokoh ilmunya.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, hal. 63).

Orang Awam dalam Menghadapi Perselisihan Ulama

Menjauhi syubhat bisa jadi dalam masalah yang terdapat perselisihan ulama.

Syaikh Sa’ad Asy Syatsri menjelaskan, “Kesamaran (perkara syubhat) bisa saja terjadi pada perselisihan ulama. Hal ini ditinjau dari keadaan orang awam. Namun kaedah syar’iyah yang wajib bagi orang awam untuk mengamalkannya ketika menghadapi perselisihan para ulama setelah ia meneliti dan mengkaji adalah ia kuatkan pendapat-pendapat yang ada sesuai dengan ilmu dan kewara’an,  juga ia bisa memilih pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Karena pendapat kebanyakan ulama itu lebih dekat karena seperti syari’at. Dan perkataan orang yang lebih berilmu itu lebih dekat pada kebenaran karena bisa dinilai sebagai syari’at. Begitu pula perkataan ulama yang lebih wara’ (mempunyai sikap kehati-hatian), itu lebih baik diikuti karena serupa dengan syari’at.“ Lihat penjelasan beliau dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 65.

Kata guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau, ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, “Jika terdapat suatu masalah yang terdapat perselisihan ulama. Sebagian menfatwakan boleh, sebagian lagi mengharamkannya. Kedua fatwa tersebut sama-sama membawakan dalil, maka perkara ini dianggap sebagai syubhat karena tidak diketahui sisi halal dan haramnya. Perkara tersebut ditinggalkan sebagai bentuk kehati-hatian dan wara’ sampai jelas akan hukum masalah tersebut. Jika akhirnya diketahui perkara tersebut adalah haram, maka ia segera tinggalkan. Jika diketahui halal, maka ia silakan ambil (manfaatkan). Adapun perkara yang tidak jelas, masih syubhat, maka sikap hati-hati dan wara’ adalah meninggalkannya.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 105).

Intinya, kalau orang awam tidak bisa menguatkan pendapat ketika menghadapi perselisihan ulama, maka hendaknya ia tinggalkan perkara yang masih samar tersebut. Jika ia sudah yakin setelah menimbang-nimbang dan melihat dalil, maka ia pilih pendapat yang ia yakini.

Dua Faedah Besar Karena Meninggalkan Syubhat

Dalam hadits yang kita kaji di atas, ada dua faedah besar jika seseorang meninggalkan perkara syubhat, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” Ini menunjukkan ada dua faedah besar di sini yaitu meninggalkan perkara syubhat dapat mensucikan (menjaga) agama kita, dan juga menjaga kehormatan kita. Dari dua faedah ini Syaikhuna, Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Dari sini menunjukkan bahwa janganlah kita tergesa-gesa sampai jelas suatu perkara.” Lihat Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 106.

Syubhat Bisa Menjerumuskan dalam Keharaman

Dalam hadits di atas disebutkan, “Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” Hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudahan dan seenaknya saja memilih yang ia suka padahal perkara tersebut masih samar hukumnya, maka ia bisa jadi terjerumus dalam keharaman.

Ibnu Daqiq Al ‘Ied mengatakan bahwa orang yang terjerumus dalam syubhat bisa terjatuh pada yang haram dilihat dari dua sisi: (1) barangsiapa yang tidak bertakwa pada Allah lalu ia mudah-mudahan memilih suatu yang masih syubhat (samar), itu bisa mengantarkannya pada yang haram, (2) kebanyakan orang yang terjatuh dalam syubhat, gelaplah hatinya karena hilang dari dirinya cahaya ilmu dan cahaya sifat wara’, jadinya ia terjatuh dalam keharaman  dalam keadaan ia tidak tahu. Bisa jadi ia berdosa karena sikapnya yang selalu meremehkan. Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, penjelasan Ibnu Daqiq Al ‘Ied, hal. 49.

Namun catatan yang perlu diperhatikan, sebagian orang mengatakan bahwa selama masih ada khilaf (perselisihan ulama), maka engkau boleh memilih pendapat mana saja yang engkau suka. Kami katakan, “Tidak demikian”. Khilaf ulama tidak menjadikan kita seenaknya saja memilih pendapat yang kita suka. Namun hendaknya kita pilih mana yang halal atau haram yang kita yakini. Karena jika sikap kita semacam tadi, dapat membuat kita terjatuh dalam keharaman. Lihat penjelasan yang amat baik dari Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 107.

Jauhi Perkara Syubhat

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fathul Bari, 4: 291)

Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Sebagaimana pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya, maka demikian pula manusia. Ia tidak mampu mengendalikan dirinya dari terjerumus pada keharaman jika hal itu masih syubhat (hukumnya samar). Permisalan yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampaikan dalam hadits ini adalah permisalan yang begitu jelas dan mudah dicerna. Hadits ini menunjukkan wajibnya kita menjauhi perkara syubhat supaya tidak membuat kita terjatuh pada keharaman.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 108).

Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk memiliki cahaya ilmu dan sikap wara’. Wallahul muwaffiq.

Referensi:

Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.

Fathul Bari, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i, terbitan Darul Ma’rifah, tahun 1379 H.

Syarh Al Arba’in An Nawawiyah fiil Ahadits Ash Shohihah An Nabawiyah, Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Ied, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan kedelapan, tahun 1423 H.

Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1431 H.

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 24 Muharram 1434 H

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/3022-meninggalkan-perkara-syubhat.html